
Oleh : Diasti Rizki Ramadhani, S.Tr.PAS
Di Indonesia, permasalahan narkotika semakin sering dijumpai di dalam masyarakat, bukan hanya perorangan saja tetapi juga melibatkan banyak orang sekaligus di dalamnya yang sering disebut sebagai sindikat. Terbukti dengan jumlah narapidana narkoba semakin meningkat sedang menjalani masa pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Kejahatan narkotika merupakan salah satu jenis kejahatan extraordinary yang memerlukan penanganan lebih. Pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dilaksanakan sesuai tujuan pembinaan, sehingga efektif serta sesuai dan tepat dengan sasaran yang dituju, yaitu agar narapidana menyadari kesalahan yang telah diperbuat, tidak mengulangi tindak pidana dan dapat diterima kembali oleh masyarakat di lingkungannya.
Sejalan dengan hal tersebut, pelaksanaan pola pembinaan dan pembimbingan narapidana di lapas dapat dilaksanakan berdasarkan tingkat kebutuhan dan resiko akibat tindak pidana narkoba dan mengetahui tingkat pengulangan tindak pidana tersebut dilakukan. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan bagi narapidana dan klien pemasyarakatan, dibuat untuk mengatur mekanisme Assessment Risk and Need guna mengidentifikasi tingkat risiko dan kebutuhan bagi narapidana dalam menjalani masa pidananya di dalam lapas. Dengan adanya peraturan ini, diharapkan proses pembinaan kepada narapidana khususnya narapidana narkoba bisa dilaksanakan secara efektif dan juga tepat, serta ketika masa pidananya telah selesai dapat kembali berbaur dengan masyarakat.
Assessment ini nantinya dilakukan oleh seorang assessor. yang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan Narapidana dan Klien Pemasyarakatan, yaitu “Assessor adalah petugas yang melakukan Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan terhadap narapidana dan klien pemasyarakatan”. Menjadi assessor tentunya mempunyai kualifikasi, diantaranya adalah sudah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan dan praktik Assessment risiko dan Assessment kebutuhan, telah melaksanakan assessment dibawah pengawasan Assessor minimal 2 (dua) kali, telah melakukan praktik assessment mandiri minimal 4 (empat) kali, serta mengusasai praktik wawancara, pencatatam kasus, serta teknik-teknik penilaian.
Assessmen risiko merupakan metode sistematis yang digunakan guna menetukan apakah suatu kegiatan memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak. Sedangkan Assssment kebutuhan merupakan suatu metode yang digunakan dalam menentukan dalam suatu kegiatan apakah dalam pemmenuhan hak yang diteliti sudah sesuai atau belum. Assessment risiko dalam penelitian ini digunakan sebagai penilaian dalam rangka mengetahui tingkat risiko akan pengulangan tindak pidana kejahatan narapidana dan risiko yang ditimbulkan baik bagi dirinya maupun orang lain. Sedangkan Assessment kebutuhan sebagai media untuk mengetahui kebutuhan pembinaan yang tepat diterapkan untuk narapidana sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
Proses pelaksanaan assessment pada masa awal pidana dilaksanakan dengan tujuan agar dalam program pembinaan mendapatkan data atau informasi akurat terkait narapidana yang bersangkutan. Penilaian ini juga dilakukan untuk menentukan penempatan narapidana untuk masuk dalam blok yang disesuaikan di dalam penjara. Yang selanjutnya dianalisis untuk menemukan pola yang tepat dalam menerapkan pembinaan. Seperti contohnya bagi narapidana narkotika adalah untuk menemukan indikator apakah narapidana tersebut harus mendapatkan pembinaan/rehabilitasu, pendidikan, atau pekerjaan yang diberikan untuk mengisi waktu luang selama di penjara. Bagi narapidana pengedar tentunya pembinaan yang diberikan mengarah pada kemandirian. Sehingga ketika bebas, mempunyai keterampilan pekerjaan yang lain.
Proses assessment dilakukan sebelum narapidana melaksanakan asimilasi atau re-integrasi social. Prosesnya dilakukan dengan metode wawancara dan pendataan pada blangko yang tersedia dalam melaksanakan assessment. Selanjutnya, hasil pendataan narapidana tersebut harus dianalisis kembali oleh assessor untuk menentukan apalah narapidana tersebut memberikan dan menunjukan peluang yang cukup besar untuk mengulangi tindak kejahatan (residivis), dan untuk menunjukan program pembinaan yang diterapkan bagi nara pidana.
Berdasarkan blangko yang termuat dalam lembar assessment risiko dan assessment kebutuhan, didalamnya mencakup Riwayat kejahatan narapidana, profil narapidana yang termasuk didalamnya kondisi ekonomi, kondisi keluarga, hubungan pertemanan, dan hal yang bersifat privat lainnya. Dalam blangko tersbut jika seorang narapidana terindikasi menggunakan obat-obatan terlarang yaitu narkoba, yang selanjutnya akan lebih di gali informasinya oleh assessor. Dalam hal ini juga bisa dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam melaksanakan Penelitian Kemasyarakatan atau yang sering di sebut litmas. Harapan besar dalam assessment yang dilaksanakan adalah supaya dapat mengungkap informasi mengenai hal-hal yang dapat diintervasi selama masa program pembinaan dijalankan bagi narapidana. Karena tolak ukur keberhasilan program pembinaan yang dijalankan oleh Lembaga Pemasyarakatan yaitu berdasarkan hasil instrumen penilaian terhadap narapidana. Karena, dari hasil instrument inilah yang menajdi tolak ukur pembinaan berlangsung dalam lapas, dan perlakuan yang dapatkan narapidana.*
*Penulis adalah ASN Kemenkumham – Pembimbing Kemasyarakatan Pertama